Autisme
berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang artinya diri yang tidak
berdaya. Menurut Kamus Lengkap Psikologi J.P Chaplin (2001), ada tiga
pengertian autisme :
1. cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri.
2. menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas.
3. keasyikkan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.
Dalam
Pedoman Penggolongan dan Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi ke III, autisme
digolongkan dalam gangguan perkembangan pervasif dengan kode F.84.
Gangguan perkembangan pervasif adalah gangguan yang ditandai dengan
kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik dan dalam
pola komunikasi, serta minat dan aktivitas terbatas, stereotipik,
berulang yang menunjukkan gambaran yang pervasif dari fungsi – fungsi
individu dalam semua situasi dengan derajat keparahan yang berbeda –
beda.
Penyebab
autisme sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti, namun ada
beberapa faktor predisposisi yang memungkinkan terjadinya autisme,
yaitu: faktor genetik, faktor hormonal, kelainan pranatal, proses
kelahiran yang kurang sempurna, serta penyakit tertentu yang diderita
sang ibu ketika mengandung atau melahirkan sehingga menimbulkan gangguan
pada perkembangan susunan saraf pusat yang mengakibatkan fungsi otak
terganggu.
Pada
sebagian anak gejala autisme sudah nampak semenjak lahir, namun
sebagian pula sempat mengalami perkembangan sebagai anak normal, dan
akhirnya perkembangannya itu berhenti sebelum mencapai usia 3 tahun.
Gejala autis sangat terlihat jelas ketika anak berusia 3 tahun. Hal yang
menarik lainnya dari autisme yaitu gejala ini lebih banyak ditemukan
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan perbandingan 3:1.
Teori Psikososial
Kanner mempertimbangkan adanya pengaruh psikogenik sebagai penyebab
autisme: orangtua yang emosional, kaku, dan obsessif, yang mengasuh anak
mereka dalam suatu atmosfir yang secara emosional kurang hangat, bahkan
dingin. Pendapat lain mengatakan adanya trauma pada anak yang
disebabkan hostilitas yang tidak disadari dari ibu, yang sebenarnya
tidak menghendaki anak ini. Ini mengakibatkan gejala penarikan diri pada
anak dengan autisme. Menurut Bruno Bettelheim, perilaku orangtua dapat
menimbulkan perasaan terancam pada anak-anak. Teori-teori ini pada
1950-1960 sempat membuat hubungan dokter dengan orangtua mengalami
krisis dan menimbulkan perasaan bersalah serta bingung pada para
orangtua yang telah cukup berat bebannya dengan mengasuh anak dengan
autisme.
Teori Biologis
Teori
ini menjadi berkembang karena beberapa fakta seperti berikut: adanya
hubungan yang erat dengan retardasi mental (75—80%), perbandingan
laki-laki : perempuan = 4 : 1, meningkatnya insidens gangguan kejang
(25%), dan adanya beberapa kondisi medis serta genetik yang mempunyai
hubungan dengan gangguan ini. Hingga sekarang ini diyakini bahwa
gangguan autisme merupakan suatu sindrom perilaku yang dapat disebabkan
oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi sistem saraf pusat. Namun
demikian, sampai saat ini belum diketahui dengan pasti letak
abnormalitasnya. Hal ini diduga karena adanya disfungsi dari batang otak
dan mesolimbik. Namun, dari penelitian terakhir ditemukan kemungkinan
adanya keterlibatan dari serebelum.
Teori Imunologi
Ditemukannya
penurunan respons dari sistem imun pada beberapa anak autistik
meningkatkan kemungkinan adanya dasar imunologis pada beberapa kasus
autisme. Ditemukannya antibodi beberapa ibu terhadap antigen lekosit
anak mereka yang autisme, memperkuat dugaan ini, karena ternyata antigen
lekosit juga ditemukan pada sel-sel otak. Dengan demikian, antibodi ibu
dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak janin yang menjadi
penyebab timbulnya autism
makasih bang, sangat membantu dalam kerja tugas
BalasHapusTerimakasih sangat membantu z dalam menyempurnakan proposal penelitian z
BalasHapusreferensinya bang?
BalasHapus